Tuesday, October 6, 2009

The Killing Fields


Dari dulu ingin nonton The Killing Fields dan baru tercapai hari ini. Baru selesai nonton beberapa menit lalu.

Masih terngiang-ngiang di kepala, pesan yang dalam untuk arti persahabatan, kesetiaan, dan juga perjuangan untuk hidup. Saya sengaja tidak mencari dulu review ataupun sinopsisnya sebelum nonton film yang dirilis tahun 1984. Pokoknya nonton aja dulu, dan ternyata baru bisa menebak arah film ini setelah berjalan seperempat dari durasi 140 menit.

The Killing Fields bukan seperti film perang pada umumnya, macam Platoon ataupun Full Metal Jacket. Jauhlah dibandingkan Rambo atau Missing in Action yang terlalu action. Sentuhan drama The Killing Fields yang membawa kita mengalir menyelami perasaan tiap karakter yang muncul.

Sam Waterson dan Haing S. Ngor yang berperan sebagai wartawan dan merupakan tokoh sentral dari film ini tampil gemilang menyajikan pergulatan emosi dua sahabat yang terbentur oleh perang saat pasukan Khmer menduduki Kamboja di era 70an. Haing S. Ngor yang meninggal pada tahun 1996 silam memang pantas mendapat oscar, walaupun dia bukan aktor prosional.

Catatan menarik lainnya adalah cinematography yang benar-benar cantik dan anggun. The Killing Fields menyajikan tekhnik pengambilan gambar secara apik dan dramatis. Salah satu adegan ketika Sydney Schanberg (Sam Waterson) menunggu Dith Pran (Haing S. Ngor) bernegosiasi menyiapkan transport, di shoot dalam bentuk siluet dengan latar belakang matahari terbenam, seperti poster film ini. Scene ini bernilai seni tinggi untuk film.

Pemilihan musik juga menarik. Sepanjang film penonton disuguhkan dengan berbagai efek suara seperti layaknya di film-film era 80-an, digabung dengan musik opera mengiringi tokoh Sydney melihat kekejaman rezim komunis saat menduduki Kamboja, dan ditutup secara mengejutkan dan mengharukan ketika akhirnya Sydney dan Dith Pran bertemu dengan Imagine dari John Lenon.

2,5 jam tidak membosankan bagi penggemar film perang dan drama, yang suka menyelami arti hidup. Dan ganjaran 3 oscar memang layak untuk film ini.

Wednesday, September 2, 2009

The Bucket List


Siapa yang tidak ingin menonton film dengan dua nama besar ini? Jack Nicholson dan Morgan Freeman. Tambahkan lagi sutradara Rob Reiner, sehingga menjadikan The Bucket List sebagai film yang mengasyikan untuk ditonton.

Ceritanya mengalir dengan indah, ketika dua orang dengan karakter yang berbeda, harus berbagi ruangan di sebuah kamar rumah sakit. Yang satu adalah Edward Cole (Jack Nicholson) orang kaya raya yang sedang sakit parah, dan kebetulan dialah pemilik rumah sakit itu, dan lainnya adalah Carter Chambers (Morgan Freeman) orang biasa, yang juga sedang ditimpa sakit parah.

Carter memiliki kebiasaan unik, di tengah kesakitannya, untuk menghibur diri, dia menuliskan keinginan-keinginannya yang terpendam pada secarik kertas. Apapun yang terlintas di benaknya, dia tulis. Sedangkan Edward adalah sosok orang kaya yang angkuh dan sangat temperamental.

Seiring berjalannya waktu, karena tidak bisa kemana-mana selain dikamar saja, mereka kemudian menjadi sahabat. Irama film semakin menarik ketika Edward berhasil membaca daftar keinginan Carter, dan berusaha mengajak Carter untuk memenuhi daftar keinginannya itu sebelum mereka mati. Apakah mereka berhasil?

Film yang menyentuh dan seirama dengan The Ultimate Gift dan Fireproof ini layak untuk ditonton. Pesan moral film ini adalah, isilah hidup dengan hal-hal yang menyenangnkan dan berarti. Daripada menghabiskan hidup menjadi orang yang kelihatannya sukses, tapi sebenarnya kehilangan sesuatu yang sangat berharga.

Morgan Freeman dan Jack Nicholson melakukan tugas mereka dengan baik mempresentasikan dua tokoh yang bertolak belakang, tapi sebetulnya memiliki kesamaan, sama-sama kehilangan sesuatu yang penting dalam hidup. Carter adalah tokoh yang selalu disetir oleh isteri sehingga tidak bisa melakukan apapun untuk membahagiakan dirinya. Edward adalah orang kaya yang hanya fokus pada kekayaannya, dan tidak mempedulikan keluarga. Dan dengan memenuhi daftar keinginan mereka ini, sedikit demi sedikit mereka berhasil membuat hidup mereka semakin berarti.

The Ultimate Gift


The Ultimate Gift sudah lama ada di Harddisk. Lebih dari 3 bulan lalu saya download, dan sudah pernah saya coba tonton, tapi karena belum mood untuk melihat film drama, saya pikir film ini hanya film biasa yang membosankan.

Memasuki 10 menit, film ini mulai menarik dan sudah bisa dibaca arahnya, ternyata semacam film The Bucket List dan Fireproof, tentang seseorang yang mengikuti sebuah daftar, yang memang semakin lama ditonton, semakin mengusik rasa ingin tahu.

Cerita film yang diangkat dari novel berjudul sama karya Jim Stovall, berkisah tentang seorang cucu bernama Jason Steven dari keluarga kaya raya, yang harus melakukan beberapa tugas, untuk bisa mendapatkan warisan.

Konflik kepentingan dari keluarganya yang kaya dan rakus akan uang dikemas secara indah dan menyentuh ketika Jason yang diperankan oleh Drew Fuller kemudian bisa mengerti bahwa uang dan kekayaan bisa membuat hati seseorang mati. Jason belajar bahwa uang bukanlah segalanya untuk bisa hidup, dan dia mendapatkan semuanya itu dari seorang anak bernama Emily yang diperankan sangat bagus oleh Abigail Breslin.

Film ini sangat layak ditonton bagi mereka yang merasa selalu haus dengan uang dan harta, untuk bisa belajar arti hidup sebenarnya. Bagi mereka yang sedang dalam kesulitan, film ini pun memberikan pesan bahwa selalu ada harapan bila kita menghadapi hidup dengan tulus.

Jason memang berhasil mendapatkan warisan yang luar biasa besar. Tapi bukan itu Ultimate Gift-nya. Bukan itu anugerah terbesarnya. Anugerah terbesar itu adalah seluruh usahanya untuk bisa berubah, dari seorang anak kaya yang manja dan tak tahu diri, menjadi seorang manusia yang bisa bersimpati, berempati, dan peduli kepada sesama.

Inilah daftar anugerah yang didapatkannya:
- Anugerah dalam pekerjaan (Dia tidak pernah bekerja apapun sebelumnya)
- Anugerah tentang uang (Merasakan hidup tanpa uang)
- Anugerah tentang teman (Menemukan teman yang sejati itu sulit)
- Anugerah tentang belajar (Mungkin terdengar sederhana bagi yang berkecukupan, tapi bagi yang berkekurangan, sebuah buku saja bernilai sangat besar)
- Anugerah tentang masalah (Tidak ada manusia yang tidak punya masalah, dan uang bukan segalanya untuk menyelesaikan masalah itu)
- Anugerah tentang keluarga (Memiliki keluarga yang penuh kasih)
- Anugerah tertawa (Tertawa lepas dan bahagia ternyata bisa dilakukan tanpa harta berlimpah)
- Anugerah untuk bermimpi (Berani bercita-cita)
- Anugerah untuk memberi (Setelah belajar tentang arti kehidupan, harta bukan lagi menjadi hal yang mengikat)
- Anugerah untuk bersyukur (Ternyata hidup sangat berarti bila diisi dengan ucapan syukur)
- Anugerah untuk satu hari (Tiap hari adalah anugerah, karena tidak semua orang bisa menikmatinya)
- Anugerah tentang kasih.(Ternyata anugerah terbesar itu bukan saat kita menerima, tapi saat kita memberi).

Monday, August 31, 2009

Jerome Bixby "The Man from Earth"


The Man from Earth adalah film yang bersetting sederhana, jauh dari hingar bingar spesial efek, dan hanya dimainkan oleh 8 tokoh sentral dalam suatu ruang keluarga. Tapi mereka bukan sembarangan orang, mereka adalah profesor dibidangnya, ada anthropologist, Scientology, ahli agama, psikiater, semua berkumpul untuk memberikan salam perpisahan kepada tokoh sentral film ini, yaitu John Oldman yang diperankan David Lee Smith.

Kekuatan film ini adalah pada dialog tokoh-tokoh dengan intelektual tinggi tersebut. Cerita bergulir ketika John mengaku bahwa dia adalah manusia berumur 14000 tahun, tidak pernah mati, dan tidak karena reinkarnasi. Dia adalah manusia yang hidup terus selama ribuan tahun itu, mengalami semua hal dalam sejarah umat manusia, sehingga dia bisa menjelaskan jawaban atas pertanyaan dari para ahli dan profesor yang juga adalah temannya.

Pembicaraan mengalir dari hal sains, sosial, psikologi, sampai pada agama. Setengah film, kita akan terpaku dan ikut menyelam dalam jalan pikiran tokoh-tokoh yang saling berusaha mempertahankan pendapat mereka masing-masing untuk berusaha menelaah apakah pengakuan John itu benar atau hanya bohong.

Memasuki setengah akhir film, ketika mereka mulai menyentuh pertanyaan tentang agama, mulailah ide-ide ateisme disuntikkan oleh Jerome Bixby sang penulis film ini. Bagi umat Kristiani yang tidak mempunyai pengetahuan dan iman yang kuat dibidang agamanya, akan terbawa untuk dipengaruhi secara negatif. Seperti tokoh Edith (Ellen Crawford) dan Harry (John Billingsley) yang digambarkan adalah ahli di bidang literatur Kristen, tapi mereka pun goyah dan tidak bisa mengambil kesimpulan tentang siapa John setelah dia mengaku sebagai seorang tokoh Alkitab yang terkenal.

Film yang sangat direkomendasikan bagi mereka yang ingin melihat film drama dengan kekuatan jalan cerita, akting kelas atas, dialog-dialog yang dalam, tanpa action dar der dor, tanpa spesial efek canggih, tanpa kesedihan yang menyayat-nyayat, tanpa darah berceceran ataupun tanpa lawakan yang akan membuat kita terbahak-bahak. Konflik dibangun dari lontaran-lontaran cara berpikir setiap tokoh.

Menonton film ini seperti membaca filsafat, belajar psikologi, dan berusaha mempraktekkan ilmu sains, sejarah, sosial, untuk mengerti apa yang mereka bicarakan. Tapi dengan catatan tebal, dibalik ide cerita yang brilian ada pesan yang tersembunyi dari penulis bahwa iman, kepercayaan, atau pengetahuan apapun yang kita miliki, itu semua tergantung pada kita apakah akan mempercayai dan berpegang sepenuhnya, atau menjadi goyah ketika kita mendapatkan berita atau fakta yang bertentangan dengan apa yang kita percayai. Semua itu tergantung kita, seperti sebuah dialog antara John dan Edith yang menjadi puncak konflik dalam film ini.

Crossing Over


Imigrasi adalah salah satu isu paling sensitif di USA, dan Crossing Over cukup sukses menggambarkan betapa peliknya masalah imigrasi, baik bagi pemerintah USA sendiri, dan juga bagi imigran.

Dibuka dengan penyergapan imigran mexico, film yang menampilkan nama-nama terkenal didalamnya seperti Harrison Ford, Ashley Judd, dan Ray Liotta, mengalir dengan suguhan banyak tokoh yang mewakili multi etnis di USA.

Keturunan Yahudi, Arab, India, Afrika, Korea, tergambar dengan apik mulai dari budaya mereka masing-masing di USA, dalam bidang pekerjaannya, masalah mereka dalam keluarga, masalah dengan lingkungan sosial seperti sekolah dan lingkungan kerja, semua dipertemukan dalam satu ruangan besar yang mereka tunggu-tunggu, yaitu ruang sidang dimana hakim menetapkan mereka menjadi warga negara USA.

Konflik pun dikemas untuk memunculkan kesan betapa berharganya kewarganegaraan USA yang akan mereka terima dengan wujud Green Card. Ada yang mempergunakan berbagai cara untuk mendapatkan legitimasi menjadi warga negara USA. Pemalsuan kartu identitas, penyogokan, sampai menyerahkan tubuh untuk mengejar mimpi di USA.

Crossing Over menggambarkan bahwa perjuangan mengejar kewarganegaraan USA sebaiknya dilakukan dengan legal, karena cara-cara yang salah, akan ketahuan juga. Hukum Amerika ditegakkan bagi siapapun yang melanggar, tidak terkecuali bagi pegawai pemerintah yang menyalahgunakan kekuasaannya.

Film yang kompleks tapi sarat pesan ini sangat cocok bagi mereka yang sedang mengejar mimpi di negeri orang, mengingatkan bahwa kesempatan di negeri orang memang kelihatan luas dan menggiurkan, tapi itu semua kembali kepada masing-masing pribadi untuk bisa sukses. Seperti kutipan kata-kata terakhir dari hakim yang akan mensahkan para calon warga negara baru menjadi warga negara resmi USA, yang lengkapnya bisa ditonton sendiri kali ya...