
Dari dulu ingin nonton The Killing Fields dan baru tercapai hari ini. Baru selesai nonton beberapa menit lalu.
Masih terngiang-ngiang di kepala, pesan yang dalam untuk arti persahabatan, kesetiaan, dan juga perjuangan untuk hidup. Saya sengaja tidak mencari dulu review ataupun sinopsisnya sebelum nonton film yang dirilis tahun 1984. Pokoknya nonton aja dulu, dan ternyata baru bisa menebak arah film ini setelah berjalan seperempat dari durasi 140 menit.
The Killing Fields bukan seperti film perang pada umumnya, macam Platoon ataupun Full Metal Jacket. Jauhlah dibandingkan Rambo atau Missing in Action yang terlalu action. Sentuhan drama The Killing Fields yang membawa kita mengalir menyelami perasaan tiap karakter yang muncul.
Sam Waterson dan Haing S. Ngor yang berperan sebagai wartawan dan merupakan tokoh sentral dari film ini tampil gemilang menyajikan pergulatan emosi dua sahabat yang terbentur oleh perang saat pasukan Khmer menduduki Kamboja di era 70an. Haing S. Ngor yang meninggal pada tahun 1996 silam memang pantas mendapat oscar, walaupun dia bukan aktor prosional.
Catatan menarik lainnya adalah cinematography yang benar-benar cantik dan anggun. The Killing Fields menyajikan tekhnik pengambilan gambar secara apik dan dramatis. Salah satu adegan ketika Sydney Schanberg (Sam Waterson) menunggu Dith Pran (Haing S. Ngor) bernegosiasi menyiapkan transport, di shoot dalam bentuk siluet dengan latar belakang matahari terbenam, seperti poster film ini. Scene ini bernilai seni tinggi untuk film.
Pemilihan musik juga menarik. Sepanjang film penonton disuguhkan dengan berbagai efek suara seperti layaknya di film-film era 80-an, digabung dengan musik opera mengiringi tokoh Sydney melihat kekejaman rezim komunis saat menduduki Kamboja, dan ditutup secara mengejutkan dan mengharukan ketika akhirnya Sydney dan Dith Pran bertemu dengan Imagine dari John Lenon.
2,5 jam tidak membosankan bagi penggemar film perang dan drama, yang suka menyelami arti hidup. Dan ganjaran 3 oscar memang layak untuk film ini.